PENDEKATAN KETERAMPILAN METAKOGNIF
DALAM UPAYA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA
Wahyu Widayat
SMAN 13 Kab. Tangerang
Pandangan umum yang masih dianut oleh sebagian guru dan
masih banyak berlaku sampai dengan sekarang adalah bahwa dalam proses belajar
mengajar, pengetahuan dialihkan dari guru kepada siswa, sehingga guru lebih
aktif dalam menyampaikan informasi (dengan ceramah), sedangkan siswa hanya
mendengar dan mencatat. Dalam hal ini peranan guru hanya sebatas
mengkomunikasikan pengetahuan kepada siswa, di mana siswa pasif untuk menerima
apa yang disajikan oleh gurunya, sehingga menyebabkan proses penyampaian
pengetahuan terjadi hanya satu arah yaitu dari guru kepada siswa. Peranan guru
berdasarkan pandangan tersebut akan mengakibatkan aktivitas berpikir siswa
dalam proses belajar menjadi kurang dan tidak dilatih secara optimal, sehingga
berakhir dengan sebuah kegagalan dalam melahirkan siswa yang mandiri dalam
belajar, dan kreatif dalam menghadapi suatu permasalahan.
Berpikir adalah aktifitas mencurahkan daya pikir untuk
maksud tertentu. Berpikir adalah identitas yang memisahkan status kemanusiaan
manusia dengan lainnya. Karenanya sejauhmana manusia pantas disebut manusia
dapat dibedakan dengan sejauhmana pula ia menggunakan pikirannya. Dalam dunia
pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, dimana dalam hirarki
Bloom terdiri dari tingkatan-tingkatan. Bloom mengkalisifikan ranah kognitif ke
dalam enam tingkatan: (1) pengetahuan (knowledge);
(2) pemahaman (comprehension); (3)
penerapan (application); (4)
mengalisis (analysis); (5)
mensintesakan (synthesis); dan (6)
menilai (evaluation). Keenam
tingkatan ini merupakan rangkaian tingkatan berpikir manusia. Berdasarkan
tingkatan tersebut, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk mengetahui
merupakan tingkatan berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan tingkatan berpikir paling tertinggi (higher) adalah menilai.
Berpikir tingkat tinggi membutuhkan berbagai
langkah-langkah pembelajaran dan pengajaran yang berbeda dengan hanya sekedar
mempelajari fakta dan konsep semata. Dalam berpikir tingkat tinggi meliputi
aktivitas pembelajaran terhadap keterampilan dalam memutuskan hal-hal yang
bersifat kompleks semisal berpikir kritis dan berpikir dalam memecahkan
masalah. Meski memang berpikir tingkat tinggi sulit untuk dipelajari dan
diajarkan, namun kegunaannya sudah tidak diragukan lagi.
Ada tiga jenis utama intelijen dan kemampuan berpikir
tingkat tinggi, yaitu:
1. Berpikir analisis
Berpikir analisis disebut juga berpikir kritis. Ciri
khusus berpikir analisis adalah melibatkan proses berpikir logis dan penalaran
termasuk keterampilan seperti perbandingan, klasifikasi, pengurutan,
penyebab/efek, pola, anyaman, analogi, penalaran deduktif dan induktif,
peramalan, perencanaan, hyphothesizing, dan critiquing.
2.
Berpikir kreatif
Berpikir kreatif adalah proses berpikir yang melibatkan
menciptakan sesuatu yang baru atau asli. Ini melibatkan keterampilan
fleksibilitas, orisinalitas, kefasihan, elaborasi, brainstorming, modifikasi,
citra, pemikiran asosiatif, atribut daftar, berpikir metaforis, membuat
hubungan.
3.
Berpikir kreatif
Tujuan dari berpikir kreatif adalah merangsang rasa ingin
tahu dan menampakkan perbedaan. Inti dari berpikir praktis, sebagaimana
dikemukakan Edward De Bono adalah bagaimana pikiran itu bekerja, bukan
bagaimana seorang filosof berpikir bahwa sesuatu itu dapat bekerja.
Berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan kemampuan berpikir dasar yang tidak dapat dipisahkan dan
harus dikuasai oleh siswa. Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir
yang menghubungkan antara variabel-variabel dengan mengembangkan penalaran
logis, memahami asumsi-asumsi dan bias-bias yang mendasari asumsi utamanya.
Dengan berpikir kritis akan menghindari pemikiran tidak logis serta kesalahan
pada pengajuan alasan, karena dalam berpikir kritis tidak hanya dilakukan
dengan mengingat dan menghafal konsep tetapi melibatkan seluruh kemampuan
berpikir yang dimiliki, serta melalui berpikir kritis akan meningkatkan
kemampuan siswa untuk belajar. Dan hal ini sesuai dengan tujuan pengajaran
matematika di SMA yaitu: "Melatih siswa supaya memiliki pandangan yang lebih
luas serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, sikap kritis, logis,
objektif, terbuka, kreatif, serta inovatif.
Salah satu model pembelajaran yang dilandasi oleh
konstruksivisme dalam upaya meningkatkan proses kemampuan berpikir siswa yang dapat
mengedepankan bagaimana seharusnya siswa berpikir, dan bagaimana berpikir
terbaik untuk dapat memecahkan permasalahan matematika, sehingga menjadikan
siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar adalah pembelajaran dengan
pendekatan keterampilan metakognitif. Dalam pendekatan keterampilan
metakognitif peranan guru sesuai dengan pandangan reflektif, yaitu hanya
sebagai pembimbing, dinamisator, motivator, dan fasilitator.
Metakognisi
merupakan suatu aspek berpikir kritis yang mencakup kemampuan siswa untuk: (1)
Mengembangkan suatu strategi sistematik selama melakukan pemecahan masalah, dan
(2) Merefleksikan pada evaluasi dan mengevaluasi keproduktivitasan proses
berpikir diri mereka sendiri.[1]
Keterampilan metakognisi merupakan keterampilan kompleks. Menurut Sharpies
& Mathews, keterampilan metakognisi dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu
jangkauan keterampilan intelektual khusus, kemudian mengumpulkan dan
mengumpulkan kembali keterampilan-keterampilan ini ke dalam strategi belajar
yang tepat untuk satu masalah khusus atau isu-isu dalam konteks yang berbeda[2]
Metakognisi
adalah istilah yang dibuat oleh Flavel pada 1976. Berawal dari keterbatasan
sebagai kajian Psikologi kognisi, semenjak tahun 1970-an metakognisi menarik
perhatian para ilmuwan dari bidang-bidang yang lain untuk juga mengkajinya.
Kini, di samping masih menjadi bagian bidang psikologi kognisi, metakognisi
telah menjadi kajian bidang-bidang bahasa, matematika dan pendidikan.
Perkembangan itu tampaknya didukung oleh suatu keyakinan bahwa metakognisi
sebagai bagian dari kognisi berpeluang mengalami perubahan pada segi-segi
kapasitas, srategi dan bentuk pengetahuannya (Flavel dan Miller).[3]
Menurut
Suherman, dkk., metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang
diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia
mengontrol serta menyesuaikan prilakunya.[4] Seseorang
perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah
suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia
lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang
dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam
setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk
menyelesaikan masalah ini?”.
Keterampilan
metakognisi mampu memberdayakan siswa menjadi jujur, berani mengakui kesalahan,
dan dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Siswa yang terampil metakognisi
cenderung lebih kompoten dibandingkan dengan siswa yang kurang terampil
metakognisi. Oleh karena itu, keterampilan metakognisi perlu diberdayakan dalam
diri seseorang atau siswa agar mereka dapat meningkatkan hasil-hasil belajarnya
secara optimal.
Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan oleh penulis di SMAN 13 Kabupaten Tangerang pada bulan
Januari Tahun 2016 tentang upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif pada materi barisan dan
deret diperoleh hasil:
- Perilaku keterampilan berpikir kritis 98,56%
- Perilaku yang tidak Relevan dengan kegiatan belajar atau bukan Keterampilan Berpikir Kritis 1,14%
- Rata-rata hasil belajar yang diperoleh 8,11 dengan persentase ketuntasan belajar 83,33%
- mengeksplorasi materi belajar (membaca, mendengarkan penjelasan) 69,01%
- mengatur strategi dan taktik belajar (berinteraksi dengan kelompok kecil) 19,46%
- memberikan penjelasan dasar dan penjelasan lajut 6,49%
- memperkirakan dan menggabungkan pendapat 1,62%
- menentukan dasar pengambilan keputusan atau menarik kesimpulan 1,98%
Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas XII.IPS SMA
Negeri 13 Kabupaten Tangerang, khususnya pada mata pelajaran matematika. Selama
penelitian, peneliti mengumpulkan data berdasarkan hasil observasi
keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif,
observasi kemampuan berpikir kritis siswa, hasil tes siswa, catatan lapangan,
dan wawancara. Terdapat beberapa hal yang peneliti temukan pada saat
pelaksanaan tindakan, antara lain:
- Penerapan pendekatan keterampilan metakognitif dapat merangsang kemampuan berpikir kritis siswa.
- Pendekatan keterampilan metakognitif dapat berjalan efektif apabila dilaksanakan minimal 2 jam pelajaran, karena pada pembelajaran seperti ini kegiatan siswa bukan hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga berdiskusi menyelesaikan masalah yang disajikan.
- Pendekatan keterampilan metakognitif dapat memudahkan siswa memahami materi pelajaran, karena siswa bukan hanya diajak mendengarkan, tetapi juga diajak untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang relevan dengan materi pelajaran dan yang terpenting siswa dilatih untuk dapat belajar dan berpikir dengan lebih baik.
- Kegiatan diskusi dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan kerjasama siswa, sehingga hasil diskusi bisa lebih beragam, karena bukan hanya berasal dari satu pikiran siswa.
- Hampir semua siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang sama, namun terdapat beberapa siswa yang memang terlihat lebih unggul dibandingkan siswa lainnya.
[1] Jacob, C. 2003, Konstruktivisme dan Metakognitif, Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia, tidak diterbitkan, h. 17
[2] Jacob, C. 2000, Mengajar
Berpikir Kritis: Suatu Upaya Meningkatkan Efektivitas Velajar Matematika, Majalah
Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia, 5 (6), h. 597.
[3] Indah
Nurmahanani,
2015, Penerapan Strategi Metakognisi dan
berpikir Kritis dalam Menulis Argumentasi Pada Mahasiswa PGSD UPI Kampus
Purwakarta, Jurnal UPI, Vol. 10, No. 1, Juli 2015
[4] Suherman dkk., 2001. Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika
UPI, h. 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar