Kamis, 08 Desember 2016

PENDEKATAN KETERAMPILAN METAKOGNIF DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

PENDEKATAN KETERAMPILAN METAKOGNIF 
DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

Wahyu Widayat
SMAN 13 Kab. Tangerang

Pandangan umum yang masih dianut oleh sebagian guru dan masih banyak berlaku sampai dengan sekarang adalah bahwa dalam proses belajar mengajar, pengetahuan dialihkan dari guru kepada siswa, sehingga guru lebih aktif dalam menyampaikan informasi (dengan ceramah), sedangkan siswa hanya mendengar dan mencatat. Dalam hal ini peranan guru hanya sebatas mengkomunikasikan pengetahuan kepada siswa, di mana siswa pasif untuk menerima apa yang disajikan oleh gurunya, sehingga menyebabkan proses penyampaian pengetahuan terjadi hanya satu arah yaitu dari guru kepada siswa. Peranan guru berdasarkan pandangan tersebut akan mengakibatkan aktivitas berpikir siswa dalam proses belajar menjadi kurang dan tidak dilatih secara optimal, sehingga berakhir dengan sebuah kegagalan dalam melahirkan siswa yang mandiri dalam belajar, dan kreatif dalam menghadapi suatu permasalahan.
Berpikir adalah aktifitas mencurahkan daya pikir untuk maksud tertentu. Berpikir adalah identitas yang memisahkan status kemanusiaan manusia dengan lainnya. Karenanya sejauhmana manusia pantas disebut manusia dapat dibedakan dengan sejauhmana pula ia menggunakan pikirannya. Dalam dunia pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, dimana dalam hirarki Bloom terdiri dari tingkatan-tingkatan. Bloom mengkalisifikan ranah kognitif ke dalam enam tingkatan: (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai (evaluation). Keenam tingkatan ini merupakan rangkaian tingkatan berpikir manusia. Berdasarkan tingkatan tersebut, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk mengetahui merupakan tingkatan berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan tingkatan berpikir paling tertinggi (higher) adalah menilai.
Berpikir tingkat tinggi membutuhkan berbagai langkah-langkah pembelajaran dan pengajaran yang berbeda dengan hanya sekedar mempelajari fakta dan konsep semata. Dalam berpikir tingkat tinggi meliputi aktivitas pembelajaran terhadap keterampilan dalam memutuskan hal-hal yang bersifat kompleks semisal berpikir kritis dan berpikir dalam memecahkan masalah. Meski memang berpikir tingkat tinggi sulit untuk dipelajari dan diajarkan, namun kegunaannya sudah tidak diragukan lagi.
Ada tiga jenis utama intelijen dan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu:
1.      Berpikir analisis
Berpikir analisis disebut juga berpikir kritis. Ciri khusus berpikir analisis adalah melibatkan proses berpikir logis dan penalaran termasuk keterampilan seperti perbandingan, klasifikasi, pengurutan, penyebab/efek, pola, anyaman, analogi, penalaran deduktif dan induktif, peramalan, perencanaan, hyphothesizing, dan critiquing.
2.      Berpikir kreatif
Berpikir kreatif adalah proses berpikir yang melibatkan menciptakan sesuatu yang baru atau asli. Ini melibatkan keterampilan fleksibilitas, orisinalitas, kefasihan, elaborasi, brainstorming, modifikasi, citra, pemikiran asosiatif, atribut daftar, berpikir metaforis, membuat hubungan.
3.      Berpikir kreatif
Tujuan dari berpikir kreatif adalah merangsang rasa ingin tahu dan menampakkan perbedaan. Inti dari berpikir praktis, sebagaimana dikemukakan Edward De Bono adalah bagaimana pikiran itu bekerja, bukan bagaimana seorang filosof berpikir bahwa sesuatu itu dapat bekerja.

Berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kemampuan berpikir dasar yang tidak dapat dipisahkan dan harus dikuasai oleh siswa. Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir yang menghubungkan antara variabel-variabel dengan mengembangkan penalaran logis, memahami asumsi-asumsi dan bias-bias yang mendasari asumsi utamanya. Dengan berpikir kritis akan menghindari pemikiran tidak logis serta kesalahan pada pengajuan alasan, karena dalam berpikir kritis tidak hanya dilakukan dengan mengingat dan menghafal konsep tetapi melibatkan seluruh kemampuan berpikir yang dimiliki, serta melalui berpikir kritis akan meningkatkan kemampuan siswa untuk belajar. Dan hal ini sesuai dengan tujuan pengajaran matematika di SMA yaitu: "Melatih siswa supaya memiliki pandangan yang lebih luas serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, sikap kritis, logis, objektif, terbuka, kreatif, serta inovatif.
Salah satu model pembelajaran yang dilandasi oleh konstruksivisme dalam upaya meningkatkan proses kemampuan berpikir siswa yang dapat mengedepankan bagaimana seharusnya siswa berpikir, dan bagaimana berpikir terbaik untuk dapat memecahkan permasalahan matematika, sehingga menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar adalah pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif. Dalam pendekatan keterampilan metakognitif peranan guru sesuai dengan pandangan reflektif, yaitu hanya sebagai pembimbing, dinamisator, motivator, dan fasilitator.
Metakognisi merupakan suatu aspek berpikir kritis yang mencakup kemampuan siswa untuk: (1) Mengembangkan suatu strategi sistematik selama melakukan pemecahan masalah, dan (2) Merefleksikan pada evaluasi dan mengevaluasi keproduktivitasan proses berpikir diri mereka sendiri.[1] Keterampilan metakognisi merupakan keterampilan kompleks. Menurut Sharpies & Mathews, keterampilan metakognisi dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan intelektual khusus, kemudian mengumpulkan dan mengumpulkan kembali keterampilan-keterampilan ini ke dalam strategi belajar yang tepat untuk satu masalah khusus atau isu-isu dalam konteks yang berbeda[2]
Metakognisi adalah istilah yang dibuat oleh Flavel pada 1976. Berawal dari keterbatasan sebagai kajian Psikologi kognisi, semenjak tahun 1970-an metakognisi menarik perhatian para ilmuwan dari bidang-bidang yang lain untuk juga mengkajinya. Kini, di samping masih menjadi bagian bidang psikologi kognisi, metakognisi telah menjadi kajian bidang-bidang bahasa, matematika dan pendidikan. Perkembangan itu tampaknya didukung oleh suatu keyakinan bahwa metakognisi sebagai bagian dari kognisi berpeluang mengalami perubahan pada segi-segi kapasitas, srategi dan bentuk pengetahuannya (Flavel dan Miller).[3]
Menurut Suherman, dkk., metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya.[4] Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”;Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.
Keterampilan metakognisi mampu memberdayakan siswa menjadi jujur, berani mengakui kesalahan, dan dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Siswa yang terampil metakognisi cenderung lebih kompoten dibandingkan dengan siswa yang kurang terampil metakognisi. Oleh karena itu, keterampilan metakognisi perlu diberdayakan dalam diri seseorang atau siswa agar mereka dapat meningkatkan hasil-hasil belajarnya secara optimal.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis di SMAN 13 Kabupaten Tangerang pada bulan Januari Tahun 2016 tentang upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif pada materi barisan dan deret diperoleh hasil:
  1. Perilaku keterampilan berpikir kritis 98,56% 
  2. Perilaku yang tidak Relevan dengan kegiatan belajar atau bukan Keterampilan Berpikir Kritis 1,14%
  3. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh 8,11 dengan persentase ketuntasan belajar 83,33%
Perilaku keterampilan berpikir kritis 98,56% dengan rincian:
  1. mengeksplorasi materi belajar (membaca, mendengarkan penjelasan) 69,01%
  2.  mengatur strategi dan taktik belajar (berinteraksi dengan kelompok kecil) 19,46%
  3. memberikan penjelasan dasar dan penjelasan lajut 6,49%
  4.  memperkirakan dan menggabungkan pendapat 1,62%
  5.  menentukan dasar pengambilan keputusan atau menarik kesimpulan 1,98%

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas XII.IPS SMA Negeri 13 Kabupaten Tangerang, khususnya pada mata pelajaran matematika. Selama penelitian, peneliti mengumpulkan data berdasarkan hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif, observasi kemampuan berpikir kritis siswa, hasil tes siswa, catatan lapangan, dan wawancara. Terdapat beberapa hal yang peneliti temukan pada saat pelaksanaan tindakan, antara lain:

  1. Penerapan pendekatan keterampilan metakognitif dapat merangsang kemampuan berpikir kritis siswa.
  2. Pendekatan keterampilan metakognitif dapat berjalan efektif apabila dilaksanakan minimal 2 jam pelajaran, karena pada pembelajaran seperti ini kegiatan siswa bukan hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga berdiskusi menyelesaikan masalah yang disajikan.
  3. Pendekatan keterampilan metakognitif dapat memudahkan siswa memahami materi pelajaran, karena siswa bukan hanya diajak mendengarkan, tetapi juga diajak untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang relevan dengan materi pelajaran dan yang terpenting siswa dilatih untuk dapat belajar dan berpikir dengan lebih baik.
  4. Kegiatan diskusi dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan kerjasama siswa, sehingga hasil diskusi bisa lebih beragam, karena bukan hanya berasal dari satu pikiran siswa.
  5. Hampir semua siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang sama, namun terdapat beberapa siswa yang memang terlihat lebih unggul dibandingkan siswa lainnya.



[1] Jacob, C. 2003, Konstruktivisme dan Metakognitif, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, tidak diterbitkan, h. 17
[2] Jacob, C. 2000, Mengajar Berpikir Kritis: Suatu Upaya Meningkatkan Efektivitas Velajar Matematika, Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia, 5 (6), h. 597.
[3] Indah Nurmahanani, 2015, Penerapan Strategi Metakognisi dan berpikir Kritis dalam Menulis Argumentasi Pada Mahasiswa PGSD UPI Kampus Purwakarta, Jurnal UPI, Vol. 10, No. 1, Juli 2015
[4] Suherman dkk., 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI, h. 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar